EMMY SAELAN PAHLAWAN NASIONAL SRIKANDI PEMBERANI TANAH LUWU

Emmy Saelan (lahir di Malangke, Tanah Luwu, Sulawesi Selatan, 15 Oktober 1924 – meninggal di Makassar, 23 Januari 1947 pada umur 22 tahun) adalah salah seorang pejuang wanita dan Pahlawan Nasional Indonesia.

Emmy Saelan Lahir Malangke, Tanah Luwu, Sulawesi Selatan 15 Oktober 1924 Meninggal Makassar. 23 Januari 1947 Pahlawan Nasional Indonesia.

Emmy Zaelan merupakan bagian dari keluarga kerajaan Luwu, ia hijrah ke kota Makassar bersama keluarganya pada usia 5 tahun. Ayahnya, Amin Saelan, adalah tokoh pergerakan Taman Siswa di Makassar dan sekaligus penasehat organisasi pemuda. Salah seorang adiknya yang laki-laki, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno.

Emmy adalah salah satu pejuang muda lulusan sekolah SMP Nasional di Kota Makasar. Didirikan tahun 1945 oleh tokoh-tokoh pejuang di Makassar yang tidak bersepakat dengan rencana dibukanya sekolah NICA. Guru-guru yang mengajar di kala itu adalah para tokoh republik. Sekolah ini hingga sekarang masih berdiri di Jl. Dr. Sam Ratulangi Makasar. Sekolah ini sendiri telah banyak melahirkan tokoh pejuang republik yang terletak di sekitar belakang stadion Mattoanging.

Jejak Perjuangan

Emmy Saelan, demikian ia dikenal, seorang pejuang perempuan dari Sulawesi yang gugur di medan perjuangan di kasi-kasi dekat kota Makasar pada tahun 1947. Sejak muda, Emmy Saelan tak sudi bekerja sama dengan Belanda. Ia pun turut berkiprah dalam pemogokan “Stella Marris” sebagai protes terhadap penangkapan Dr. Sam Ratulangi.

Di saat agresi militer kedua Belanda terjadi, para pelajar sekolah membentuk laskar perjuangan dengan bergerilya. Laskar perjuangan tersebut diberi nama Harimau Indonesia. Laskar pejuang tersebut dikepalai oleh Robert Wolter Monginsidi dengan anggota Emmy Saelan, dan Maulwi Saelan yang adalah adik Emmy Saelan. Maulwi Saelan inilah yang kemudian dikenal sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan mantan kiper SPSI. Adik Emmy Saelan yang lain, yaitu Elly Saelan yang kemudian dikenal dengan nama Elly Yusuf, istri Jendral M. Yusuf, mantan Menhankam Pangab. 

Aksi laskar perjuangan Harimau Indonesia tidak main-main, dari menembak hingga melempar granat ke rumah-rumah pembesar Belanda. Karena gerah dengan aksi-aksi laskar pejuang ini, Belanda pun mendatangkan Kapten Weterling yang terkenal kejam.

Kedatangan Kapten Wasterling ke Makasar memmpersempit ruang gerak kaum muda pejuang di SMP Nasional. Penangkapan pun dilakukan secara besar-besaran. Sebelum kehadiran Westerling, proses belajar mengajar berlangsung dengan baik namun kedatangan Westerling membuat sekolah itu terpaksa ditutup.

Di laskar Harimau Indonesia, Emmy berperan memimpin laskar perempuan yang sekaligus juga bertugas di palang merah. Kulitnya yang putih membuat dia mendapat nama sandi "Daéng Kébo’. Daeng adalah panggilan sapaan di Makasar yang berarti “Kak”. Emmy lah yang menentukan aturan penggunaan sandi untuk mengenal sesama pejuang. Misal, bila ia memegang rambut dan orang yang dijumpai juga memegang rambut, maka berarti orang itu adalah sesama teman pejuang. Mantan komandan pasukan perempuan Makasar, Sri Mulyati juga mengisahkan bahwa Emmy Saelan adalah seorang yang ahli menggunakan sandi.

Menjadi laskar pejuang di usia teramat muda benar-benar membutuhkan keberanian besar. Mana kala di usia remaja kita lebih senang berjalan-jalan dan bersenda gurau. Sosok Emmy Saelan justru bergabung dengan perjuangan yang penuh mara bahaya. Berterimakasihlah kita kepada para pejuang yang mengorbankan masa mudanya untuk kemerdekaan dari penjajah yang kini bisa kita rasakan.

Bersiap menghadapi Belanda, Laskar Pejuang Harimau Indonesia kemudian mempersiapkan sebuah operasi melawan Belanda. Kala itu, menurut kisah Maulwi Saelan, adik dari Emmy Saelan, ia ditugaskan menjemput Emmy yang masih berada di Polombangkeng. Keberadaan Emmy sangat penting sebagai pimpinan Palang Merah untuk menyertai gerakan operasi. Namun, ternyata Emmy tidak sabar menunggu jemputan dan mendahului turun ke Makasaar untuk bergabung dengan pasukan Harimau Indonesia. Sehingga ketika tiba di Polombangkeng, Maulwi tidak bersua dengan sang kakak dan sempat tinggal beberapa hari di Polombangkeng, baru kemudian turun ke Makasar. Sesampainya di Makasar, ia mendapati pasukan Harimau Indonesia sedang bersiap hendak meluaskan operasi ke utara yaitu Pankajene dan Tanete Baru. Di sinilah, Maulwi sempat bertemu dengan Emmy namun Emmy tidak turut ke utara.

Kala itu, 23 Januari 1947, Emmy memimpin 40 orang bertempur di Kampung Kasi Kasi. Dari 40 orang yang dipimpin oleh Emmy, hanya 1 regu yang bersenjata api, lainnya masih menggunakan senjata tradisional. Pertempuran itu sendiri dikoordinasikan oleh Wolter Monginsidi yang sedang berada di Kampung Tidung. 

Dikisahkan, Monginsidi memerintahkan Emmy untuk mundur ke Kasi-Kasi setelah Belanda semakin gencar menyerang dengan tank-tank. Dalam kondisi yang makin mencekam dengan kepungan tentara musuh, Emmy yang sedang membawa korban-korban luka, Emmy memimpin rombongannya untuk mundur, namun apa mau dikata, itu sudah terlambat. Emmy semakin terdesak dan terkepung. Tentara Belanda memerintahkannya untuk menyerah, apalagi semua teman Emmy sudah tewas tertembak kecuali Emmy sendiri. Emmy tak peduli dengan perintah Belanda, untuk terakhir kalinya, Emmy melemparkan granat ke tengah-tengah tentara Belanda, sejumlah tentara Belanda tewas terbunuh, termasuk Emmy sendiri. Jenazah Emmy lalu dikuburkan oleh Belanda saat itu juga di lokasi pertempuran. Namun, Emmy beserta lima kawannya yang gugur dikuburkan di tempat terpisah. Lima orang lainnya dikubur dalam satu lubang di Kasi- Kasi.

Serdadu-serdadu KNIL sendiri sebelumnya tidak mengetahui bahwa yang meledakkan granat ke arah mereka adalah Emmy Saelan, seorang perempuan yang sedang mereka kejar. Mereka tidak menyadarinya karena Emmy mengenakan pakaian lelaki dengan celana panjang. Setelah mengetahui bahwa yang tewas itu adalah Emmy, para sedadu KNIL bersorak gembira.

Wolter Monginsidi yang kemudian mendapat kabar bahwa Emmy gugur di medan pertempuran pun seakan tidak percaya. Sore itu, 23 Januari 1947, kabar tewasnya Emmy dirasakan sebagai pukulan keras bagi Wolter Monginsidi. Karena itulah, Wolter Monginsidi memerintahkan agar segera dilakukan serangan balasan untuk menghancurkan musuh. Keputusan itu sebenarnya tidak tepat, karena situasi medan sangat tidak menguntungkan. Namun setelah diperingatkan oleh teman-teman seperjuangannya, Wolter Monginsidi akhirnya berubah pikiran.

Tgl 23 Januari 1947 pun segera diumumkan sebagai hari berkabung seluruh pasukan dalam lingkungan operasi III yang dipimpin oleh Wolter, karena hari itulah gugurnya seorang perempuan pejuang tanpa kenal takut memimpin pasukannya bertempur.

Seusai situasi di Makasar pulih, kuburannya digali kembali. Pihak keluarga masih bisa mengenali jenazahnya dari konde dan giginya yang cacat. Dari kemeja dan celana panjangnya yang lusuh tercabik, baju yang kerap ia kenakan kala bergerilya. Tewasnya Emmy Saelan membuat seluruh keluarga terpukul. Rumahnya yang terletak di Jalan Ali Malaka 20, Makasar pun dirundung duka. Rumah tersebut terletak sekitar 2 km dari Pantai Losari, yang terkenal keindahannya. Amin Saelan, sang tuan rumah tak henti-hentinya melantunkan doa bagi sang anak. Amin Saelan adalah seorang tokoh pejuang dan tokoh Taman Siswa Makasar. Dari pengalamannya sebagai pejuanglah, Emmy Saelan mendapatkan elan semangat juang. Amin Saelan di jalan revolusi juga merupakan penasihat organisasi Pemuda Nasional Indonesia di Makasar yang diketuai oleh Manai Sophiaan (ayah dari aktor Sophan Sophiaan).

Perjuangan Emmy Saelan pun dikenang sebagai salah satu pahlawan nasional. Jasanya diabadikan dalam bentuk monumen dan nama jalan.

Jenazah Emmy Saelan kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Panaikang. Disana ia dimakamkan sebagai pahlawan yang gugur di medan juang. Emmy dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana tertulis di batu nisannya di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.

Pengabadian nama Emmy Zaelan

Untuk mengenang kepahlawanannya, jalan yang sering dilalui Emmy ketika bergerilya diabadikan sebagai nama Jalan Emmy Saelan ini terletak di Jalan Sam Ratulangi Makasar. Bahkan, pernah diusulkan untuk membangun patung Emmy. Namun usul itu ditolak keluarga karena dianggap bertentangan dengan keyakinan agama yang dianut. Sebagai gantinya, lokasi tempat Emmy gugur juga dibadikan dengan dibangunnya Monumen Emmy Saelan. Monumen ini terletak di kota Makasar di Jalan Toddopuli. Namun sayang, kondisi monumen tersebut sekarang tidak terawat. Seperti gambar Garuda Pancasila yang telah rusak dan ditumbuhi banyak rumput liar.

Monumen Emmy Saelan terletak di Jl. Hertasning Timur, yang bertuliskan “Monumen Maha Puteri Emmy Saelan”. Awalnya monumen ini dibangun lengkap dengan taman berisi permainan anak. 

Pada tahun 1985, Menko Polkam Sudomo meresmikan monumen ini. Bentuk monumen tersebut runcing di bagian atasnya, dan terdiri dari tiga pilar asimetris. Di tempat inilah, Emmy bersama pejuang lainnya termasuk Wolter Robert Monginsidi melakukan aksi long march menju Polongbangkeng, di daerah Gowa –Takalar. 

Sayang, keramik di monumen itu kotor dan rusak. Menunjukkan bahwa monumen ini tidak dirawat dengan baik. Padahal tempat bersejarah ini adalah warisan kekayaan yang patut dilestarikan. Di tempat inilah Emmy Saelan gugur melawan serdadu Belanda. Monumen ini penting untuk mengingat sejarah kita sendiri sebagai anak abangsa yang merdeka atas hasil perjuangan taruhan nyawa para pendahulu kita.

</>ahp

Komentar

Posting Komentar

silahkan Anda isi unek uneknya?