AWAL PERADABAN KERAJAAN LUWU (Sebuah Tinjauan Linguistik Diakronik) TAB SATU

Dari sumber sejarah,tinjauan kebahasaan,dan Epos Lagaligo, diketahui bahwa Peradaban Luwu muncul dari Salu Pongko yakni di wilayah Wotu antara 3.000 hingga 
2.000 tahunsilam. Diduga, Wotu dahulu kala pernah didiami suku tertua yang bernama To Pongko,namun nama suku ini tidak lagi berhasil diidentifikasi oleh peneliti sejarah, maupun sumber sejarah (penutur). Dari To Pongko lahir 2 (dua) anak suku, yakni To Liu’ (Lowland) dan To Riu’ (Highland) antara 2.500 hingga 2.000 tahun silam. Ke-2 nama anak suku ini juga tak dapat diidentifikasi oleh peneliti sejarah maupun sumber sejarah, tetapi masih dapat diidentifikasi melalui Epos Lagaligo dengan term (istilah) yang berbeda.

Peta Kerajaan Luwu Enam Periode Raja-raja (generasi) Zaman I Laga Ligo

Simpelnya, To Pongko (Wotu) melahirkan 2 (dua) anak suku utama. Suku pertama adalah Simpelnya, To Pongko (Wotu) melahirkan 2 (dua) anak suku utama. Suku pertama adalah suku To LIU’ (di kenal dalam Epos Lagaligo dengan nama Buriq Liu’) yang akhirnya lebih populer disebut dengan To Luwu. Suku ini berdiaspora dari Wotu ke Muara Salu’ Pongko (sekarang Salo’ Bongko’) dan akhirnya membentuk sebuah peradaban Lowland (dataran rendah) di Pesisir Pantai Malangke, setelah merangkak perlahan melalui Pantai Lemo di Burau. Suku kedua adalah suku To RIU’ (dalam Epos Lagaligo dikenal dengan nama WAWENRIU’ -singkatan dari Wawa INIA Rahampu’u), yang berdiaspora dari Wotu dan akhirnya berkumpul dan membentuk sebuah peradaban Highland (dataran tinggi) di sekitar Danau Matano, setelah merangkak perlahan melalui beberapa sungai, seperti sungai Manurung dan sungai Larona (keduanya di Luwu Timur sekarang).

Perkawinan Batara Guru (La Toge’ Langi’) dengan We Nyili’ Timo dianggap sebagai lambang reunifikasi (penyatuan kembali) 2 (dua) keluarga besar dari suku To RIU (WAWENRIU) dengan suku To LIU (LUWU) yang berasal dari satu nenek moyang To PONGKO (Wotu), yang lama terpisah dan tercerai berai akibat diaspora 
(penyebaran penduduk/keturunan). Kelahiran BATARA LATTU dari Perkawinan ini dapat dianggap sebagai simbol lahirnya kembali (reinkarnasi) nenek moyang mereka ‘To PONGKO’, sebagai manusia awal yang pernah mendiami Tana Luwu di Wotu. Karena itulah, Reunifikasi keluarga ini dikukuhkan dengan dijadikannya Wotu sebagai Ware’ (Kotaraja) Kerajaan Luwu yang pertama.

Kerajaan Luwu adalah Kerajaan Tertua di Sulawesi yang amat luas wilayah 
kekuasaannya. Peta di bawah judul tulisan ini yang dikutip dari tulisan 
ALBERT SCHRAUWERS dalam buku Houses, Hierarchy, Headhunting and 
Exchange: Rethinking Political Relations in the Southeast Asian Realm of Luwu' 
menggambarkan hal tersebut.Penuturan beberapa orang masyarakat Gorontalo di ujung utara bekas kerajaan ini yang mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kerajaan Luwu,hanya contoh kecil hegemony kerajaan ini di masa lalu.Dari beberapa Lontara yang kemudian dijadikan catatan sejarah, juga diketahui bahwa Silsilah raja-raja di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat bersumber dari Kerajaan Luwu. Hal tersebut diungkap Andi Zainal Abidin dalam Buku ‘The Emergency of Early Kingdoms in South Sulawesi,1983: halaman 212, sebagai berikut:

“.... No one in South Sulawesi denies the importance of Luwu’. According 
to a popular belief and genealogies of the kings and nobility in South Sulawesi, Luwu’ 
was founded before the formation of Bugis, Makassar and Mandar kingdoms. Several Lontara’ readers estimated that Luwu’ was founded in the thirteenth century, while two Assistant Commissioners of Bone ... estimated, without giving any evidence, that Luwu’ was founded about the twelfth century. According to Couvreur, the Governor of Celeves (1929), Luwu’ was the most powerful kingdom in Sulawesi from the tenth to the fourteenth century. This opinion is supported by the highest respect that the nobility in Luwu’ traditionally enjoyed. Even petty principalities like Selayar, Siang, Lamatti’ and Bulo-Bulo claimed that their first kings had come from Luwu’ ....”

Titik awal peradaban dapat diketahui dari buku Republik Indonesia Propinsi Sulawesi bertarikh tahun 1951. Dalam buku tersebut tertulis bahwa asal-usul 
orang Toradja sama saja dengan orang' Bugis yang mendiami daerah sekitar Afdeeling Luwu. Kedua suku ini berasal dari Pulau Pongko sekitar 2000 hingga 3000 tahun silam.

Disebutkan pula bahwa melihat tjatatan tahun kedatangan orang Toradja itu di daerah tempat kediaman mereka sekarang, dan memperbandingkan tjatatan tahun turunnja 
Tomanurung Tamborolangie,jang kira2 1 a 2000 tahun jang lalu,maka agaknja tidak 
ada suatu alasan positief jang menjangkal, bahwa asal turunan orang Toradja itu 
sama sadja dengan turunan orang Bugis jang kini mendiami daerah2 
sebelah Utara Luwu. Apalagi menurut tjerita tersebut, bahwa Pongko itu 
terletak disebelah Selatan dari daerah jang didiami oleh mereka sekarang. Djadinja termasuk dalam daerah yang penduduknya terdiri dari orang orang Luwu.

Masalah yang timbul dari keterangan tersebut adalah kata majemuk 
‘PULAU PONGKO’. Hasil penelusuran Peta Sulawesi Selatan tidak diketahui adanya Pulau Pongko di sebelah selatan, kecuali Pongkor di Bali atau juga Pongkor di Sunda. Adapun kata “PONGKO” di Pulau Sulawesi ini tersebar dari Selatan hingga ke Utara, bahkan sampai ke Filipina Selatan. Kata PONGKO digunakan untuk menamai gunung, sungai, dan toponim geografis lainnya, namun tak satupun yang menggunakannya untuk nama Pulau di sebelah Selatan. Pulau Pongko adanya di sebelah Utara yakni kabupaten Tojo Una-una.

Pulau terdekat yang ada di Sebelah Selatan Afdeeling Luwu adalah Pulau Liwukang,sedangkan pulau terjauh adalah Pulau Selayar. Timbul dugaan bahwa Pulau Liwukang (sekarang; Libukang) dahulu kala bernama Pulau Pongko. Keterangan yang diperoleh dari masyarakat menyebutkan bahwa Pulau tersebut sebelumnya memang sekian lama menjadi hunian manusia, sebelum generasi terakhir dari Pulau tersebut migrasi ke Penggoli (Palopo).Di Pulau yang mungil ini terdapat kuburan-kuburan tua To Libukang (orang Libukang). Dugaan yang sama berlaku untuk Pulau Selayar. Boleh jadi nama Pulau ini sebelumnya bernama Pongko, kemudian dalam Epos Lagaligo dikenal dengan nama Silaja. Bahasa orang Selayar pun mirip dengan bahasa Wotu, suku yang dianggap paling tua di Luwu, atas dasar bahasa yang digunakannya yang tidak digunakan di tempat lain. Laporan hasil eskavasi arkeologi pun menempatkan Selayar diurutan lebih tua –secara radio karbon- dibanding hasil eskavasi arkeologi di Wotu pada khususnya, dan Luwu pada umumnya.

Keyakinan paling kuat atas masalah ersebut adalah telah terjadi kesalahan 
ketik ataupun kesalahan tutur dari sumber sejarah. Yang dimaksud dengan Pulau Pongko dalam keterangan itu adalah SALU’ PONGKO yang secara geografis berada di Malangke.Salu’ Pongko artinya Muara Sungai, jenis tutur bahasa yang menggunakan hukum DM. Jika diubah dalam Hukum MD menjadi PONGKO SALU, atau PENGKASALU (Bhs. TAE).

Dalam linguistik diakronik, untuk menentukan suku tertua di suatu wilayah, atau suku mana yang menjadi sumber asal dari suku-suku lain di sekitarnya, dapat diketahui dari 
seberapa banyak suatu bahasa dari sebuah suku dipengaruhi oleh kosa kata bahasa-bahasa lain di sekitarnya. Semakin sedikit pengaruh, -atau bahkan nol- maka semakin tua bahasa suku tersebut. Wotu begitu dekat dengan Salu Pongko dan sekerabat dengan Suku To Luwu, salah satu suku tertua di Luwu yang pernah mendiami daerah Pabbiringeng, Malangke. Tidak keliru jika kita meyakini bahwa di Wotu zaman dahulu, hidup sebuah komunitas awal yang bernama ‘To Pongko’, yang kemudian melahirkan suku To Luwu dan dan To Riu, dan suku- suku tua lainnya di sekitar wilayah tersebut yang tidak dapat lagi dideteksi oleh peneliti sejarah, ataupun penutur sejarah.

Kesulitan identifikasi ini terkait anak-anak To Luwu yang menyempal ke 
jazirah Selatan Teluk Bone hingga membentuk identitas diri sebagai To Ugi (suku Bugis), kemudian kembali ke kampung leluhur mereka di Luwu sejak abad ke 15. Akibat arus balik ini, beberapa tempat bersejarah yang seharusnya dipertahankan nama aslinya, kini berganti nama menyesuaikan lidah anak suku tersebut. Sebagai contoh, SALU PONGKO (Muara Sungai) yang dijelaskan di atas sebagai sumber asal peradaban, kini telah berubah nama menjadi SALU BONGKO' (Kali Udang).

Oleh: Ashari Thamrin
_cpAHP

Komentar