SEJARAH SINGKAT DATU KAMANRE PATI ARAJA OPU RI SOMBAH (SOMBAH OPU)

Pada tahun 1615, perang saudara terjadi di Kerajaan Luwu, antara Kerajaan Luwu versi Pattimang dengan Kerajaan Luwu versi Kamanre pecah. Perang ini terjadi selama kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang Tanah Luwu Utara Selatan hingga pada tahun 1619.

Makam Pati Pasaung Petta MatinroE Ri Malangke adik kandung Pati Araja
Pajung/Luwu XVI.Diabadikan A.A.Censes 1941.

Menurut Lontara Kerajaan Luwu, Pati Arase Petta MattinroE Ri Pattimang yang menjadi Pajung Luwu yang ke XV menikah dengan putri Somba Gowa bernama Karaennge Ri Balla Bugisi melahirkan 3 orang anak yaitu :1. Pati Araja Datu Kamanre (Laki-laki). 2. Pati Pasaung bergelar Sultan Abdullah Petta MatinroE Ri Malangke (Laki-laki). 3. We Tenri Siri bergelar Somba Baine (Perempuan).

Pada tahun 1602 M. Kerajaan Aceh mengutus 3 Datok (Ulama) dari Minangkabau bernama Dato’ Sulaiman, Dato’ Ribandang dan Dato’ Ri Tiro untuk mengislamkan Sombah Gowa di Makassar. Namun Sombah Gowa meminta Langsung agar lebih dahulu mengislamkan Pajung Luwu yang ke XV yaitu Pati Arase karena Kerajaan Luwu lah yang tertua di Sulawesi. Apabila Pajung Luwu sudah masuk Islam maka mudahlah untuk mengislamkan seluruh kerajaan di Sulawesi. Maka Sombah Gowa pun mengutus Dato’ Sulaiman kepada Kerajaan Luwu untuk mengislamkan Pati Arase.

Pada saat ayahanda mereka mangkat, anaknya yang ke dua bernama Pati Pasaung diangkat menjadi Pajung Luwu yang ke XVI, yang berkedudukan di Malangke, lalu Pati Araja sebagai anak sulung, murkah, kemudian ia pergi ke sebuah daerah bernama Cilallang, dan mendirikan kerajaan sendiri di sana serta membangun Istananya diatas bukit Kamanre, maka beliaupun mendapat gelar Datu Kamanre.

Terangkatnya adik Pati Araja yakni Pati Pasaung menjadi raja menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Pattimang, Malangke. Beberapa petinggi istana yang mendukung Pati Araja menolak keputusan adat yang menaikkan anak mattola kedua. Akhirnya Pati Araja meninggalkan Pattimang dan hijrah ke Kamanre (eks pusat Kerajaan Luwu masa Dewaraja yang berkuasa sekitar 1530). Di Kamanre, Pati Araja mengumumkan dirinya sebagai Datu Luwu dan diterima oleh seluruh masyarakat, meliputi Cilellang, Bajo, Noling hingga Larompong. Dengan demikian, pada saat itu, ada dua pusat kerajaan Luwu (Wara), yaitu yang pertama Luwu wilayah pengaruh Malangke (Baebunta hingga Poso), yang kedua, Luwu wilayah Kamanre yang meliputi Bajo, Ranteballa, Larompong sampai Akkotongeng. Sedangkan Kemadikaan Bua netral. Palopo kala itu merupakan perkampungan nelayan yang berpusat di Libukang.

Akibat perpecahan ini, kedua kakak beradik tersebut, terjadilah peperangan antara keduanya yang menelan korban rakyat pengikut kedua belah pihak yang menyebabkan ketiga Dewan Adat yang lebih dikenal dengan istilah ana' tellue, masing-masing:
  • Maddika Ponrang pro kepada Datu Kamanre Pati Araja.
  • Makole Baebunta yang pro kepada Pati Pasaung.
  • Maddika Bua yang Netral.
Ketiganya bermufakat untuk mengusahakan perdamaian kedua Raja bersaudara yang sedang berseteruh itu. Maka pada musim panen, mereka menyiapkan pasukan berkuda untuk memburu rusa liar kemudian mereka membuat sebuah Baruga (bangunan panggung yang tinggi) di posisi lereng gunung Lare-Lare yang sengaja dibangun untuk dijadikan tempat pertemuan dalam usaha mendamaikan kedua Raja kakak beradik yang sedang berseteruh. 

Mereka membuatkan Baruga dengan dua arah pintu masuk, utaradan selatan. Bangunan tinggi tersebut, dibuatkan dua buah anak tangga naik ke puncak bangunan Langkea. Tangga itu dibuat dengan dua posisi arah seperti disebut di atas. Di sebelah selatan di khususkan untuk Pati Araja.da. di sebelah utara untuk Pati Pasaung.

Setelah segala persiapan perdamaian telah matang, maka Maddika Bua yang diketahui oleh kedua Raja kakak beradik dengan kenetralannya dengan sikap arif dan penuh santun beliau mendatangi dan mengundang mereka berdua, dalam rangka untuk menyaksikan pesta rakyat, berupah perhelatan unjuk keahlihan peserta berburuh rusa liar dalam rangka panen raya di daerah Bua.

Suatu ketika, hari H pun datang. Kedatangan keduanya pun sudah diatur sedemikian rupa, agar kedua raja tidak bertemu ditangga, ketika menaiki bangunan Langkea tersebut. Sementara itu ketiga Dewan Adat yang merencanakan perdamaian itu sudah lebih awal berada dipuncak Langkea, untuk menanti kedua Raja yang bersengketa, untuk didamaikan sesuai dengan cara yang mereka rencanakan, yakni, siap melaksanakan tugasnya masing-masing, seorang memegang sarung besar yang diberi tugas kepada Maddika Bua yang netral untuk dimasukkan ke leher kedua Raja yang bersengketa, dan untuk Makole Baebunta dan Maddika Ponrang masing-masing memegang kawali (Gajang Luwu) untuk diserahkan kepada kedua Raja yang bersengketa, apabila keduanya sudah bertemu diatas puncak Langkea tersebut. Dan meminta kepada kedua Raja itu menyelesaikan urusannya sendiri dan tidak melibatkan atau mengorbankan masyarakatnya yang tidak seharusnya menjadi korban. 

Dalam situasi hening dan mencekam, Maddika Bua yang sudah berada di ruang tengah Baruga seraya memohon dan mempersilahkan agar kedua Raja untuk memasuki tribun. Sontak kedua Raja kakak beradik kaget, lebih-lebih pada saat keduanya diserahi kawali oleh masing-masing Dewan Adat pro mereka, Madika Ponrang dan Makole Baebunta. Kemudian oleh Madika Bua, beliau mempersilahkan Pati Pasaung dan Pati Araja untuk bertarung. Madika Bua berkata “Wahai kedua junjungan kami, sudah tahunan rakyat saling membunuh, bumi Luwu porak poranda, anak yatim sudah tidak terbilang lagi. Ini adalah akibat Luwu diperintah dua raja. Kami hanya menghendaki seorang Pajung saja”.

Pada saat itu, Pati Araja pun sadar dan menyesal, lalu berkata kepada adiknya Pati Pasaung “Wahai andi'ku (Adinda), engkaulah yang disukai oleh orang banyak. Aku ini "daengmu" (abang) telah hanyut dalam gelora nafsu kekuasaan. Aku khilaf. Sebagian rakyat telah aku ikutkan dalam diriku. Terimalah badik ini, dan terima pula penduduk Kamanre seluruhnya ke dalam satu kesatuan Kerajaan Luwu yang kuat, damai, tenteram dan sejahtera dalam kekuasaanmu. Biarlah aku, daengmu ini kembali ke Gowa, negeri ibunda kita di mana kita dilahirkan, tanah leluhur kita”.

Maka berangkatlah Pati Araja dan pengawalnya menuju Gowa, negeri ibundanya Karaennge Ri Balla Bugisi. 

Konon, setelah beliau berada di Gowa, Sombah Gowa berkenan dan memberikan sebuah tempat bermukim bersama dengan pengikut-pengikutnya yang sampai sekarang dikenal, dengan perkampungan Sombah Opu di Gowa. 

Somba Gowa pada waktu itu sedang menghadapi ancaman peperangan dari VOC Belanda, maka beliau mengangkat Pati Araja menjadi panglima perang untuk menghadapi serangan VOC Belanda. Itulah sebab asal muasal adanya benteng Somba Opu di Gowa sampai sekarang. 

_ed AHP

Komentar