SEKILAS SEJARAH ADAT RANTE BALLA di KAKI GUNUNG LATIMOJONG TANAH LUWU

Sekilas Pemimpin Tradisional Rante Balla

A. Struktur sosial

Mengutip pendapat Aristoteles, bahwa: “agar masyarakat hidup tertib dan aman maka di dalamnya perlu ada tingkatan strata, yaitu mereka yang mempertahankan negara dan menjamin keamanan dan mereka yang bekerja untuk menghidupi negara”.

Tampak dalam gambar,
Parengge Lemo dengan Parengnge Sikapa Rante Balla beserta rombongan 

pada event budaya Kerajaan Luwu

Sebuah legenda tentang kisah asal muasal leluhur mereka, menceriterakan sebagai berikut:

Dikisahkan, adalah seorang pemuda pengembara yang bernama Laso' Pong To Membulawan Buntu yang dikemudian hari dikenal dengan Ne' Rose datang kesebuah daerah. Di daerah ini ia mendapat seekor anoa untuk dijadikan santapannya. Ketika Pong To Membulawan Buntu menebang sebatang bambu untuk di pakai memasak anoa tersebut, tiba-tiba dari bambu tersebut terdengar suara seorang wanita. Wanita ini memperingatkan Pong To Membulawan Buntu supaya menebang dan membelah bambu itu dengan hati-hati. Hal ini dilakukan Pong To Membulawan Buntu dengan baik, dan ketika bambu itu berhasil di belah maka keluarlah seorang wanita berambut panjang, berparas cantik bernama Muttiah.


Lanjut kisah, Pong To Membulawan Buntu dan Muttiah memasak anoa dan menikmatinya bersama sebagai perayaan pertemuan mereka dengan disaksikan hamparan alam nan indah. Pong To Membulawan Buntu mengawini Muttiah mencari tempat yang datar (rante) dan membakar tempat itu (balla). Demikianlah tempat itu dinamakan Rante Balla. Muttiah mengandung dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Sairikna dan setelah Sairikna dewasa datanglah seorang dari daerah Pangi’ yang bernama Embabulan meminang dan menikahinya. Kemudian mereka melahirkan 8 (delapan) orang anak. Dari keturunan inilah masyarakat Rante Balla berkembang dan menjadi suatu wilayah adat.

Strata Sosial

Sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Rante Balla masyarakat di daerah ini memeluk agama To Jolo/Animisme. Untuk mengatur kehidupan masyarakat Rante Balla yang semakin berkembang, masyarakat sepakat mengangkat seorang pemimpin yang disebut Si Nene’ (Parenggnge’) yang berasal dari keturunan bangsawan. Jabatan pemerintahan adat tersebut tidak terlepas dari keterikatan dengan adanya pelapisan atau struktur sosial yang selalu dihubungkan dengan kekuasaan atau sumber pemerintahan adat. Dalam masyarakat Rante Balla kasta atau strata sosial terdiri atas 3 (tiga) golongan:

Golongan kaum bangsawan “darah biru” yaitu golongan tertinggi yang pada umumnya menjadi pemimpin Parengnge’.

Golongan masyarakat biasa atau menengah yaitu mereka yang bukan kaum bangsawan dan bukan budak atau kaunan.

Golongan hamba atau kaunan yaitu golongan yang paling rendah. Golongan ini adalah orang-orang yang ditebus dari saudagar atau pedagang yang dulunya didatangkan ke Rante Balla.

B. Pemimpin tradisional Rante Balla

Seperti halnya daerah lain, masyarakat Rante Balla sejak dahulu juga telah mengenal pemimpin dalam masyarakat. Hal ini juga berlaku jauh sebelum agama Kristen masuk ke wilayah Rante Balla pada tahun 1910.

Semula Rante Balla dikenal dengan pemerintahan sistem adat, dan dalam wilayah Rante Balla ada 6 (enam) wilayah adat yang masing-masing memiliki pemangku adat yaitu:

1. Wilayah parengnge’ Ke’pe dengan gelar Parengnge’ Ke’pe 
2. Wilayah Parengnge’ Sikapa dengan gelar Parengnge’ Sikapa
3. Wilayah Parengnge’ Lemo dengan gelar Parengnge’ Lemo
4. Wilayah Parengnge’ Tabang dengan gelar Parengnge’ Tabang
5. Wilayah Paraengnge’ Lantio dengan gelar Parengnge’ Lantio
6. Wilayah Parengnge’ Kandeapi dengan gelar Paengnge’ Kandeapi.

Ke enam wilayah Parengnge’ di atas masing-masing bersifat otonom. Akan tetapi, diantara mereka ada yang dituakan selaku koordinator dalam mengambil keputusan. Dalam tiap wilayah adat kaparengnge’san ada beberapa pemimpin yaitu:

Parengnge

"adalah pemimpin tertinggi yang diangkat dari kaum bangsawan darah biru yang berjiwa berani, bertanggu jawab, rendah hati dan pintar. Awalnya parengnge’ dipilih oleh masyarakat bersama To Matua Bungalalan dalam musyawarah, tetapi dijaman sekarang ini mengalami perubahan yaitu parengnge’ menjadi satu jabatan turun temurun yakni kekuasaan yang diperoleh berdasarkan garis keturunan. Parengnge’ berarti mengayomi dan memikul tanggung jawab banyak orang dalam suatu wilayah tertentu" 

To Matua 

"adalah hakim adat yang merupakan penasehat dalam masyarakat Rante Balla dan juga To Matua berhak memutuskan perkara perkara adat"

Bungalalan

"adalah pemimpin Aluk (agama) dan bertugas memperhatikan keberadaa hidup atau kesejahteraan masyarakat terutama dalam bidang pertaniaan"

Ketiga pemimpin tersebut di atas disebut Dewan Adat Tallu Situlak yaitu pemimpin yang saling mendukung. Selain ketiga pemimpin diatas masih ada tokoh-tokoh lain yang secara kolektif membantu dalam menjalankan adat yaitu Ambe’-Ambe’ tondok yang terdapat di setiap kampung penduduk.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan terdapat sala seorang Parengnge’ Rante Balla, beliau mengatakan bahwa anggota masyarakat tidak mungkin bisa menjadi Parengnge’ karena mereka tidak berasal dari keturunan kaum bangsawan (darah biru). Hal ini bertolak belakang dengan data yang penulis peroleh berdasarkan wawancara dengan anggota masyarakat, bahwa setiap orang bisa saja menjadi pemimpin atau Parengnge’ asalkan orang tersebut memiliki kepandaian, berwibawaan dan kekayaan.

C. Syarat-syarat Pemilihan Pemimpin Rante Balla

Pemilihan atau pengangkatan pemimpin dalam masyarakat Rante Balla, memiliki kesamaan dengan apa yang dikatakan oleh L.L Pasende (Parengnge’ Sikapa, yakni, untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat maka persyaratan adalah sebagai berikut:

Keturunan kaum bangsawan (darah biru). 

Pemimpin atau parenge’ dalam masyarakat rante balla harus berasal dari keturunan tertentu yaitu kaum bangsawan (dara biru). Meskipun orang tersebut adalah keturunan kaum bangsawan, menurut T.O. Ilhromi tidak otomatis orang itu menjadi pemimpin Parengge’.Dalam masyarakat, mereka harus melalui latihan-latihan pengembangan kebijakan, kerajinan, dan keberanian yang ditunjang oleh kekayaan. 

Bijaksana 

Seorang pemimpin atau Parennge’ harus bijaksana atau berbudi baik. Masyarakat akan lebih menghargai pemimpin atau Parengge’ jika iya bijaksana atau berbudi baik dalam perilaku hidupnya sehari-hari atau dalam menjalankan atau serta memutuskan perkara.

Berani

Seorang pemimpin atau Parengge’ harus memiliki sikap berani karena ia memiliki tanggung jawab yang besar terhadap masyarakat. Keberanian yang dimiliki pemimpin atau Parengge’ harus berpatokan pada kebenaran Firman Allah serta dengan kepandaian.

Sejahtera

Salah satu tugas pemimpin atau Parengge’ adalah mensejahterakan anggota masyarakat. Untuk melakukan tugas tesebut, tentunya seorang Pemimpin atau Parengge’ memiliki kekayaan atau materi yang lebih dari anggota masyarakat, karena hal ini dapat menunjang kepemimipinan

D. Pola Kepemimpinan Masyarakat Rante Balla

Seorang Pemimpin atau Parengge’ harus memiliki wibawa dan kekuasaan karena dianggap sebagai tokoh simbolis yang mengemban nilai yang ideal oleh anggota masyarakat. Dalam kepemimpinan tradisional ditemukan dua unsur yang dominan dalam kepemimpinanya yaitu unsur paternalistisadalah suatu gaya kepemimpinan yang bersifat sebagai bapak. Oleh karena itu sering bersikap melindungi seperti seorang yang melindungi anak-anaknya, dan memnganggap orang lain sebagai bawahan “anak yang belum dewasa”. Sebagai Pemimpin atau Parengge’ ia akan mengatur, mengambil inisiatif, merencanakan dan melaksanankan apa yang menurut pahamnya. dalam gaya kepemimpinan ini kebebasan, kreasi, dan fantasi bagi orang lain.

Pola kepemimpinan yang kedua dalam kepemimpinan tradisional adalah sikap otoriter dimana setiap keputusan yang diambil harus dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya pengakuan yang mutlak dalam masyarakat mengenai kewibawaan dan otoritas yang dimiliki oleh Pemimpin atau Parengge’.

Dibalik dari pola kepemimpinan tradisional masyarakat Rante Balla yang bersifat paternalistis dan otoriter ini terkandung nilai yang ideal dimana pada diri setiap pemimpin ada kewajibanatau tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan untuk mensejahterakan masyarakat yang dipimpinnya. Diantaranya tugas dan kewajiban itu adalah sebagai berikut:

-Menjadi pengayom dan mensejahterakan masyarakatnya.
-Menyelesaikan perkara atau masalah dalam masyarakat atau adat
-Menjadi mitra kerja dengan pemerintah setempat dalam menjaga masyarakat dan lingkungannya.
-Berusaha memperbaiki hubungan daerah adat lain.

Kepemimpinan tradisional masyarakat Rante Balla adalah bertanggung jawab atas kelangsungan hidup masyarakat yang dipimpin. Itu berarti bahwa Parengge’ bertanggung jawab melindungi dan memberdayakan masyarakat. Parengge’ tidak secara otomatis dipercaya dan dihargai masyarakat. Penghargaan dan kepercayaan itu muncul ketika Parengge’ bisa membimbing dan mengarahkan warga masyarakat ata warga jemaat kepada kesejahteraan. Dalam masyarakar Rante Balla, Parengge’ memegang jabatan dan posisi yang sangat penting. Dan di jaman sekarang ini kepemimpinan tradisional memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat maupun dalam kehidupan bergereja. Pengaruh dan pesan Parengge’ (pemimpin tradisional) dalam gereja juga berangkat dari latar belakan sejarah pengabaran injil yang didukung oleh Zending.

E. Tempat Dan Peran Kepemimpinan Teradisional Dalam Masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Depertemen Pendidikan dan kebudayaan dalam masyarakat tradisional di Indonesia, kepemimpinan tradisional memiliki peran dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat tradisional di Indonesia. Dalam struktur pemerintahan Republik Indonesia Pemimpin Tradisioanl mendapat tempat dan peran serta secara formal dan lembaga lembaga adat.

Dalam masyarakat Rante Balla kewenangan yang paling jelas yang dimiliki oleh lapisan atas atau bangsawan. Kewenangan ini mendapat legitimilasi (pengesahan) dari tradisi dan dilain pihak kesinambungan tradisi adalah berkat kuatnya kesadaran dalam kelompok untuk mempertahankan tradisi-tradisi dalam masyarakat.

Secara non formal peran kepemimpinan tradisional nampak dalam hubungan sosial, pengambilan keputusan dan penentu kebijakan. Dalam masyarakat tradisoinal Rante Balla lembaga-lembaga adat mempunyai wewenang untuk menyelesaikan dan mengambil keputusan-keputusan seperti perkara persinahan, perceraian, dan pertanian. Itu dapat diambil alih oleh Pemimpin Tradisional sebelum perkara itu dibawah pada pemerintah formal.

Nilai keputusan dari pemimpin tradisional tidak kurang dari nilai keputusan pemerintah formal dan lembaga keagamaan Gereja. Segala sesuatu yang telah diputuskan dalam lembaga adat itu disahkan oleh masyarakat dan tidak diteruskan kepada pemerintah selagi perkara itu bisa diselesaikan dengan baik. Berdasarkan hal-hal diatas sangat jelas bahwa kepemimpinan tradisional dalam masyarakat atau jemaat mendapat kepercayaan untuk menyelesaikan perkara atau persoalan yang muncul.

Mengutip dari Skripsi Pdt. Purnama Pasande.
_post AHP

Komentar