TAHAPAN RITUAL SAKRAL PERDAMAIAN SIGARUANG TELLI TANAH LUWU

Tahapan Mappasala Ale

Setelah wilayah yang melakukan kesalahan menyadari apa yang telah dilakukannya dan telah rampung pembicaraan antara wilayah yang melakukan kesalahan dengan dewan adat maka dilakukan prosesi pertama, dimana pihak yang melakukan kesalahan datang berkunjungan ke istana dengan seluruh perangkat adatnya dan tokoh masyarakatnya menghadap Datu. Upacara tersebut dikenal dengan namanya Mappasala Ale yang berarti pengakuan kesalahan.

Sesepuh Adat Kedatuan Luwu

Setelah melakukan ritual Mappasala Ale dan siap untuk mengikuti prosesi Sigaruang Telli, maka dilanjutkan dengan acara berikutnya, yaitu upacara Ma’rambu Langi.

Tahapan Ma’rambu Langi

Setelah pembicaraan selesai, termasuk waktu pelaksanaan dan siapa saja yang menanggung kerbau serta berapa jumlah kerbau yang akan disembelih, maka datu memerintahkan kepada dewan adat 12 untuk menggelar upacara. Upacara atau ritual yang pertama dilakukan adalah penyembilihan kerbau.

Penyembelihan kerbau merupakan simbol pengorbanan diri dari pihak-pihak yang telah melakukan pelanggaran dengan cara bertikai. Kemudian asap yang menjulang sampai ke langit meruapakan simbol permohonan maaf kepada Sang Khalik. Oleh sebab itu, maka seluruh masyarakat Luwu yang hadir pada saat upacara dilaksanakan dipersilahkan mencicipi daging kerbau, walaupun alakadarnya.

Tahapan Mallekke Wae

Sebelum pelaksanaan upacara perdamian, lebih dahulu dilakukan upacara Mallekke Wae yaitu upacara mengambil air di sungai Cerekang, yaitu sungai yang dianggap memiliki Air Suci, sebab sungai tersebut dipercaya masyarakat Tanah Luwu sebagai tempat pertama kali turunnya Raja/Pajung Luwu, yaitu Batara Guru. 

Pada saat upacara pengambilan air, dipimpin oleh Pua Cerekang, yaitu orang yang dituakan di Kampung Cerekang yang dianggap memiliki aura kharisma. Tempat mengambil air tersebut dalam Kitab I Laga Ligo, sebagai tempat mandi Raja/Pajung Luwu Batara Guru. Air yang ada di Sungai Cerekang digunakan di upacara perdamaian disebab karena air tersebut adalah simbol kesejukan dan simbol pembersih segala kotoran.

Banyaknya air yang diambil di Sungai Cerekang pada saat Mallekke Wae sekitar 25 liter. Kemudian air tersebut di bawa ke tempat pelaksanaan upacara, yakni di Kota Palopo, tepatnya di sekitar Istana Kerajaan Luwu. Setelah tiba di Istana, maka air disimpan pada wadah khusus tempayan Istana, kemudian di simpan pada tiang tengah Istana atau dikenal dengan Posi Langakanae.

Setelah air tersebut berada dalam istana, maka tiga malam berturut-turut diadakan pembacaan doa yang dilakukan oleh oknum agama (Parewa Syara). Selama berlangsungnya pembacaan doa, maka tidak dibolehkan seorangpun untuk berbicara. Pembacaan doa tersebut dikenal dengan istilah Mattemmu Lahoja. Dengan tujuan permohonan doa kepada Sang Pencipta agar masyarakat Tanah Luwu diberi kedamaian.

Apabila pembacaan doa telah dilaksnakan, maka dilanjutkan dengan makan bersama, sebagai simbol kebersamaan. Makanan yang disantap bersama diusahakan yang manis-manis, dengan harapan setelah perdamaian hubungan kedua belah pihak menjadi manis.

Sigaruang Telli

Namun sebelum itu dilakukan, maka, setiap kesalahan dan tanggal kapan, apa yang dilakukan, maka diteriakkan itu, maka tanggal sekian saya melakukan seperti ini, saya pukul orang dan saya tidak akan mengulangi lagi, maka dipecahkan lah telur itu. Dimasukkanlah di dalam gumbang (gentong/gerabah), dicampur dengan tuak murni yang rasanya manis. Setelah kesemuanya mengutarakan rasa bersalah Datu pun turut menyampaikan, rasa bersalahnya semacam mungkin selama ini tidak melayani dengan baik dan benar termasuk silaturhmi langsung terhadap masyarakatnya.

Setelah menyebut semua kasus yang melanda masyarakat Luwu selesai, maka Sandro (dukun) Istana mengalihkan pembicaraan kepada Pemangku Adat dengan menyatakan rasa penyesalan atas kelalaian yang telah terjadi, karena kurangnya perhatian kepada masyarakat sehingga terjadi perselisihan. Rasa penyesalan tersebut disampaikan kepada Allah swt, bahwa Datu sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat Tanah Luwu telah lemah dalam memimpin. Jadi selain doa kepada Allah, juga menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Tanah Luwu.

Semua telur yang ada di dalam tempayan di aduk oleh Puang Angkuru (dewan adat yang bertugas dalam upacara perdamaian). Sambil mengaduk telur dan tuak manis yang ada dalam tempayan, Puang Angkuru juga memohon doa kepada Allah berupa permohonan ampun dan miminta rahmat diikuti dengan ikrar dan sumpah setia untuk saling mengasihi serta pernyataan kerelaan menerima sanksi atau hukuman dari Allah swt kepada siapa saja yang melanggar sumpah.

Sebagai pengukuhan sumpah yang dilakukan, maka dihadirkan pula para tokoh agama dan pemimpin adat dari pihak-pihak yang bertikai. Para pemimpin adat tersebut juga mengucapkan doa sesuai keyakinan masing-masing secara bergiliran.

Setelah pembacaan doa dan proses pengadukan telur dan tuak manis selesai, maka dilanjutkan dengan mempersilahkan Datu Luwu untuk meneguk pertama minuman yang telah diaduk tadi. Kemudian dilanjutkan dengan Petinggi Pemerintahan Sipil dan Milter.

Kemudian Puang Angkuru sebagai pemimpin upacara mengemukakan secara resmi kepada seluruh hadirin serta masyarakat Luwu, bahwa mulai saat ini seluruh Ina-Ina Lili (yang dulu menjadi daerah bagian kerajaan Luwu) atau yang bergabung dalam Lili Na Luwu Limpona Ware dinyatakan dalam keadaan Mabbarata (berkabung) atas telah terjadinya perselisihan antara beberapa Pa lili. Dengan demikian maka seluruh masyarakat di Kabupaten Luwu merasa turut berkabung.

Ritual Mabbarata

Ritual Mabbarata masih rangkaian dari upacara Sigaruang Telli yang tidak lain merupakan dalam suasana berkabung. Setelah melakukan upacara perdamaian (Sigaruang Telli) dilanjutkan dengan upacara Mabbarata. Yakni dinyatakan segenap masyarakat Tanah Luwu dalam keadaan berkabung.

Upacara mabbarata tersebut ditandai dengan memasang kain hitam di beberapa tempat, yakni depan Istana Datu Luwu (Lindro LangkanaE), di depan kantor kantor pemerintah dan di kantor swasta. Adapun tempat yang pertama kali dipasang kain hitam, yaitu di rumah Datu Luwu, karena dianggap sebagai pemimpin masyarakat Tanah Luwu.

Upacara mabbarata dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut, yakni dilakukan keesokan harinya setelah upacara perdamaian. Kemudian setelah upacara mabbarata dinyatakan selesai, maka dilanjutkan dengan upacara Mappacekke Wanua (mendinginkan kampung/negeri) 

Ritual Mappacakke Wanua

Ritual penyejuk atau  mendinginkan suasana kampung dengan membawa air ke daerah-daerah yang bertikai. Air yang di bawah ke tempat tersebut adalah air yang telah disimpan di istana Langakanae selama 7 hari 7 malam. Selain membawa air juga dilengkapi dengan kelewang dan besi PakkaE atau tombak bercabang dua sebagai simbol kharisma Datu Luwu.

Setelah sampai di tempat tujuan, maka air dipercikkan ke empat penjuru mata angin. Adapun maksud dari ritual tersebut adalah permintaan maaf kepada seluruh masyarakat Tanah Luwu dan senantiasa hidup dalam suasana sejuk, rukun dan damai di bawah lindungan Allah SWT.

Ritual Mappacakke Wanua tersebut merupakan akhir dari rangkaian upacara Sigaruang Telli, maka dengan berakhirnya upacara Mappacekke Wanua maka berakhir pulalah semua rangkaian ritual. Dengan harapan segala permasalahan yang terjadi di masyarakat dapat berakhir, sehingga masyarakat bisa hidup rukun dan damai, serta tidak ada lagi dendam diantara mereka yang pernah bertikai, namun yang ada adalah rasa kasih sayang dan persaudaraan.

Selain terjalinnya kedamaian di dalam masyarakat, Ritual Sigaruang Telli juga bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan (equilibrium). Maksud keseimbangan dalam hal ini, selain untuk menjaga hubungan baik antara manusia dengan manusia, namun juga untuk menjalin hubungan baik antara manusia dengan Tuhannya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

_AHP

Komentar