Diary Saya ke Matano Tanah Luwu, Negeri Mpunya Besi yang Terlupakan

Matano pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. Desa ini pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.

Bukti peninggalan sejarah Pandai Besi Matano berupa Bejana, Ceret
dan Zirah (topi prajurit perang berbahan logam)

Saya mengunjungi desa Matano, yang berada di Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Oktober silam. Letaknya berada di pesisir danau. Udaranya sejuk tapi mataharinya menyengat. Saya heran melihat tanah yang hitam di sepanjang jalan utama yang bersisian dengan garis pantai Danau Matano. 

Mahding memperlihatkan peninggalan para pandai pandai besi Matano. Ada palu, landasan pukul, tombak, parang, topi perang, piring, dan ceret. Sekarang tak satu pun generasi mereka melanjutkan keahlian mengolah besi. “Ini peninggalan yang tersisa” katanya. 

Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole. Sebuah jabatan adat dalam sistem struktural pemerintahan kerajaan Luwu di bawah Datu/Raja atau Ratu. 

Awal mula Mokole Matano merupakan otoritas dari beberapa anak suku dan kerajaan-kerajaan kecil. Namun pada akhirnya menjadi bagian dari federasi kerajaan Luwu. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung penuh aturan dan keputusan-keputusan Datu/Raja atau Ratu kerajaan Luwu. 

Matano memiliki sumber daya alamnya yang kaya besi dan nikel dan membuatnya menjadi rebutan. Adalah tetangganya sendiri di bagian timur, To Bungku atau orang Bungku, yang juga dikenal sebagai penambang dan pelebur biji besi kendati tak sebaik orang Matano. Mereka selalu terlibat perang dan keberadaan benteng itulah yang jadi penandanya.

Orang Matano mengolah besi dengan sederhana. Mereka memilah batu yang dianggap punya kandungan nikel yang baik, biasanya berwarna hitam pekat. Lalu diangkut ke tempat peleburan dan dibakar. Untuk meleburnya, mereka menggunakan tungku tanah dan bambu sebagai pengganti pipa. Mereka juga memakai bambu yang berfungsi sebagai tabung pompa untuk menghidupkan dan menjaga api tetap menyala dalam tungku. Bagian dalam bambu dihaluskan dengan cermat lalu dimasuki kayu sebagai tuas (mirip pompa zaman sekarang). Pada ujung kayu itu dibuat bulatan dan melapisinya dengan bulu ayam, agar dinding bambu bagian dalam rapat dan menghasilkan dorongan angin yang berhembus cepat. 

Dari produksi itu, kerajaan Luwu menjadi penghasil besi dengan kualitas terbaik. Di Nusantara besi itu disebut Pamoro Luwu. Namun karena Matano tak memiliki teknologi, mereka hanya menyediakan bahan baku. Bahan-bahan itu dibawa ke Ussu, ibukota kerajaan Luwu, dan ditukarkan dengan kain dan barang kebutuhan lainnya. Orang-orang Ussu-lah yang menempa ulang besi itu menjadi parang, pedang, hingga badik dan keris. Kelak dalam sejarah panjang kerajaan Luwu hingga dalam teks I La Galigo, dikenallah istilah Bessi to Ussu –besi orang Ussu atau juga bessi Luwu.

Laporan arkeologis dari proyek OXIS yang dilakukan Iwan Sumantri (arkeolog Universitas Hasanuddin), David F Bullbeck (dari Australian National University), dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun 1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu, menjelaskan bahwa Luwu menjadi populer karena memiliki akses besi yang mengandung nikel di Matano, biji besi di Bungku, dan emas di Sulawesi Tengah. Proyek OXIS, akronim dari Origin of Complex Society in South Sulawesi, menggabungkan metodologi dari bidang penelitian sejarah dan arkeologi (dan kemudian antropologi sosial) untuk mempelajari munculnya kerajaan agraris di semenanjung barat daya pulau Sulawesi.

Ussu, pada abad ke-14, merupakan pusat pemerintahan kerajaan Luwu. Dalam teks I La Galigo, Ussu menempati posisi istimewa karena magisnya dan merupakan “pusat nyata” Kerajaan Luwu. 

Ussu berada di kaki bukit, terdapat sungai Ussu melebar dan bercabang menjadi Sungai Malili. Menelusuri sungai Ussu di pesisir timurnya, Anda akan menemukan wilayah pandai besi Matano. Pada masa itu, jarak tempuh melalui darat dengan berjalan kaki hanya tiga hari. Penduduk Matano, selain menghasilkan besi dengan kandungan nikel terbaik, juga mengekspor tembaga. 

Menurut Iwan Sumantri, besi Luwu populer karena adanya kandungan nikel yang membuat kualitas besi lebih ringan dengan titik didih yang rendah. Pada abad ke-11 hingga pertengahan abad ke-15, Luwu mengekspor besi itu ke Majapahit. Dalam teks Negarakertagama juga disebutkan demikian. Majapahit sedang gencar memperluas daerah kekuasannya, “Dan tentu di saat yang sama mereka membutuhkan besi secara besar-besaran untuk membuat peralatan senjata,” kata Iwan.

Ketika volume perdagangan semakin tinggi, Luwu memindahkan pusat kerajaan ke wilayah Malangke. Di sini perdagangan berkembang bukan hanya sebatas ekspor besi tapi merambah rotan, damar, dan hasil hutan lainnya. Namun, pada abad ke-16, perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur membuat pamor Luwu mulai menurun. Majapahit sebagai sekutu terbaik juga mulai redup. 

“Rempah-rempah menjadi primadona. Tak ada lagi permintaan besi,” kata Edwar Poelinggomang, sejarawan Universitas Hasanudin.

Menurut Edwar, menghilangnya Kerajaan Luwu dalam percaturan perdagangan Nusantara dimulai pada 1559 saat VOC memusatkan perdagangan ke Indonesia Timur dan memilih Makassar sebagai pelabuhan utama. Kerajaan Luwu yang berlokasi di perairan Teluk Bone menjadi kesepian. Tak ada aktivitas. Warga pendatang seperti Bugis pun hengkang. Hingga akhirya kerajaan Luwu berpindah dan memusatkan pemerintahaannya di Palopo sampai sekarang.

Matano negerinya pandai besi yang seharusnya tercatat sebagai situs sejarah dan dilindungi oleh pemerintah daerah, justru terbalik. Sama sekali tidak ada perhatian. Bila demikian adanya “sejarah kebesaran dan kepiawaian pandai besi Matano di masa lalu akan dilupakan dan hilang tak berbekas“ Dan ini adalah kecelakaan besar bagi generasi kita.

Mahding, berusia 72 tahun, penduduk asli Matano. Tak jauh dari rumahnya, terdapat benteng yang membentang sepanjang 300 meter. Benteng itu terlihat kokoh meski sudah dipenuhi tumbuhan liar. Menurut cerita masyarakat setempat, panjang benteng itu mencapai 500 meter, dibangun dari tumpukan tanah dengan bagian dalamnya diisi batu kapur. Tujuannya untuk menghalau suku-suku yang hendak menyerang Matano. 

Menurut Mahding, benteng itu seharusnya mengelilingi kampung yang didiami para pandai besi. “Saya dengar cerita orangtua, ada 99 tempat pandai besi masa itu (di kampung ini). Jadi ramai sekali,” katanya.

</> ed, ahp

Komentar