PERISTIWA DI/TII DI RONGKONG

Pada tahun 1951 gerombolan DI/TII datang di Rongkong memperkenalkan dirinya sebagai anggota Corps Cadangan Nasional yang kemudian berganti nama sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR) memerintahkan kepada sebagian masyarakat untuk mengungsi dan meninggalkan Rongkong karena adanya perubahan politik di masa itu. 

Rumah Seratus Jendela sebelum terbakar (atas) dan puing puing (bawah)

Kala itu, semua orang yang ada di Rongkong Seko kebanyakan masih beragama suku (Khalaik) selebihnya beragama Nasrani, diperintahkan oleh Tentara Keamanan Rakyat untuk memilih salah satu agama Islam atau Kristen. Mereka diberikan kesempatan selama 1 bulan untuk memilih, itu terjadi pada tahun 1952. 

Hasil dari pemilihan itu mayoritas memilih agama Kristen dan minoritas memilih agama Islam. Mulai dari situlah tidak ada lagi yang beragama suku (Khalaik), semua yang berhubungan dengan tradisi dan adat Istiadat dihancurkan dan dibakar, hanya adat yang sesuai dengan agama yang diijinkan. 

Waktu itu perkembangan agama Kristen semakin meningkat di daerah Rongkong, Seko dan Mamasa. Nah dari situlah para gerombolan anggota Kahar Muzakkar tidak menerima, karena kenyataannya tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan mereka.

Pada tahun 1953 di Makkalua Bajo, Abdul Kahar Muzakkar memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sejak itu nama TKR diubah menjadi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Mulailah terjadi penekanan terhadap masyarakat Rongkong Seko untuk memeluk agama tertentu. 

Tokoh Rongkong dan majelis-majelis gereja banyak yang diincar dan akan dibunuh bila tidak mau mengikuti keinginan gerombolan. Amban salah satunya saat itu selalu menghindar dari pihak gerombolan DI/TII, berpindah dari tempat ke tempat lain, namun suatu waktu Amban bertemu dengan salah seorang pasukan gerombolan DI/TII di sebuah jalan diantara Limbong dan Uri. Terlihat gerombolan itu membawa sebilah Kawali/Badik dan mereka saling menentang satu sama lain, namun Ambe Itti saudara Amban melihat dan ingin menombak gerombolan itu namun dihalangi oleh Amban dengan alasan bila gerombolan itu mati terbunuh saudara dan keluarga mereka terancam, mulai dari situlah Amban dan saudaranya yang lain menghindar dan mengasingkan diri. 

Amban bersama Sambak/Ambe Lisu dan yang lain mengungsi ke daerah Baruppu. Dan banyak orang Rongkong saat itu yang meninggalkan Rongkong, para pedagang dari luar kembali ke kampungnya masing-masing. 

Amban dan Tandi Awo, Tentara TNI V/BRAWIJAYA (Tentara Kota) Tahun 1956

Suatu ketika, terjadilah pergolakan politik, akses keluar masuk Rongkong ditutup oleh pasukan DI/TII dan orang tidak diijinkan keluar dari daerah Rongkong Seko. Hewan ternak seperti babi dan anjing dimusnakan, garam dan bahan makanan yang bersumber dari musuh tidak diijinkan masuk wilayah Rongkong Seko karena dianggap haram. 

Pada tahun 1953 Rumah Seratus Jendela dikosongkan dan difungsikan sebagai markas pihak DI/TII. 
Di Pohoneang, Seko, ada 8 pemuda yang ditahan karena tidak mau mengikuti keinginan gerombolan, maka pemimpin DI/TII adakan sidang kilat untuk mengadili 8 pemuda itu, 2 diantaranya bebas karena mau ikut perintah DI/TII, dan 6 diantaranya dihukum mati dan disaksikan oleh ratusan orang waktu itu. Sejak itu orang-orang Seko banyak yang mengungsi ke daerah utara dan ke daerah barat. 

Beberapa waktu kemudian dikumpulkan lagi sekitar 7 orang untuk dieksekusi mati di daerah Salutallang salah satu korban yang terbunuh adalah ayahanda dari Pemimpin (Mertua Tomakaka Limbong Wajallangi) dibunuh dan dikuburkan dalam satu lubang dekat gereja di Salutallang, yang mana sebagai algojo saat itu adalah orang Rongkong sendiri (tidak kami sebutkan namanya), kemudian ada lagi eksekusi berikut tiga orang di daerah Komba yang mati ditangan algojo yang sama, ada juga dieksekusi di depan kuburan Limbong di Salutallang. 

Orang yang dieksekusi/dipenggal kepalanya sampai terlempar tidak masuk ke dalam lubang dan kepalanya yang lepas dari badan itu menggigit rumput menggambarkan betapa sakitnya pemenggalan kepala itu. Ada juga seorang wanita dieksekusi di lapangan Salutallang diikat dipohon, dan dikumpulkan semua orang untuk menyaksikan eksekusi mati itu. 

Setelah Rongkong Seko sudah dalam kendali kekuasaan DI/TII, masyarakat melakoni kehidupan mereka dengan aturan-aturan yang diterapkan DI/TII. Setiap hari melakukan aktivitas seperti biasa, terkadang juga diadakan pertandingan sepak bola dan lain sebagainya untuk mengisi hari-hari layaknya kehidupan normal pada umumnya. Jelang memasuki waktu maghrib, masyarakat kembali kerumah masing-masing dengan tidak lagi melakukan kegiatan apapun diluar rumah. 

Seiring pemberontakan pasukan DI/TII di Rongkong, pada Tahun 1954 Tentara kota (TNI V/Brawijaya) datang dari Toraja (Baruppu) dibawa oleh Amban (Ambe Samuel) Tappi (Ambe Tandi Girik) Tandi Awo (Pak Sul) sebanyak 7 tentara TNI Brawijaya yang dikenal dengan istilah Tentara Kota, datang dari arah Barat muncul di Salutallang, dan menyisir daerah Ulu Salu, terjadi kontak senjata antara Tentara Kota dan Tentara Hutan di Salutallang. Satu orang dari tentara hutan mati terbunuh tepatnya di SMP Limbong, yang lainnya lari ke arah persawahan Katimbang namun tak luput dari sasaran peluruh pasukan Brawijaya, ada juga yang lari ke Salurante.

Berlanjut kontak senjata di Limbong, orang Rongkong yang bergabung dengan TNI V/Brawijaya menyuruh Ambe Tahir (juga orang Rongkong) yang kala itu bergabung dengan gerombolan DI/TII agar segera melarikan diri karena akan dibunuh oleh Tentara Kota yang lain masih tinggal dan melakukan kontak senjata sampai ke Balannalu, disanalah ada 3 orang gerombolan DI/TII ditahan tak sempat melarikan diri, dibawa ke Limbong untuk di eksekusi. 

Setelah situasi kondusif, Tentara Kota masih membagi tugas untuk menyisir seluruh wilayah yang ada di Rongkong Seko dan mencari sanak keluarga yang masih bersembunyi dihutan ataupun yang disandera oleh para pasukan DI/TII untuk diselamatkan dan dievakuasi ke Rongkong, Semuanya sudah dirasa aman, seluruh masyarakat Rongkong Seko dianjurkan agar mempersiapkan barang dan bahan makanan untuk segera meninggalkan Rongkong dan mengungsi ke kota (Sabbang dan sekitarnya) kemudian rumah dan lumbung padi penduduk dibakar agar tidak digunakan dan dimanfaatkan kembali oleh DI/TII juga mempersempit ruang gerak mereka agar tidak ada tempat untuk kembali ke Rongkong Seko. 

Seiring berjalannya waktu pergolakan DI/TII tidak lagi didengar di Sulawesi Selatan, barulah masyarakat Rongkong yang mengungsi di kota kembali ke Rongkong dan mulai membangun kehidupan yang baru, dan ada pula yang mengurungkan niatnya untuk tidak kembali lagi ke Rongkong. Setelah setahun operasi penumpasan DI/TII diwilayah Rongkong dan Tanah Luwu, Tentara V/Brawijaya kemudian di tugaskan ke Sulawesi Utara untuk penumpasan pemberontakan Permesta. Selanjutnya Pasukan dari Kodam Siliwangi.datang dan menumpas habis para gerombolan DI/TII.

disadur dari FB

Komentar