Perlawanan Opu Makole Baebunta

Gambar dan Literasi oleh: Musly Anwar

Baebunta adalah sebuah Kerajaan tersendiri yang eksistensinya ada hampir sejaman dengan turunnya Batara Guru di Alle Luwu. Menurut andi mattingaragau dalam buku Baebunta dalam sejarah Luwu, Manurung baebunta disebut Balailo Nurung, memiliki bahasa tersendiri yakni bahasa sassa Limola(ng). dalam perjalanan sejarah, wilayahnya kemudian menjadi bagian teritori Tana Luwu, dalam Pemerintahan Kedatuan Luwu. Makole baebunta sederajat dengan Maddika Bua’ dan Maddika Ponrang yang kemudian disebut sebagai “Ana TelluE” (Sarita Pawiloy, 2002:114).

 
Ilustrasi modis setelan pakaian pemangku jabatan hadat khas Kerajaan Luwu

Permintaan pemerintah Belanda Tahun1896 oleh seorang Misionaris bernama Albertus Christiaan Kruyt beserta Nicolaus Adriani yang berinisiasi mengadakan pembebasan seluruh penduduk di tanah Poso dari kekuasaan Datu Luwu yang berkedudukan Di Kota Palopo, yang kemudian Disetujui Gubernur Belanda yang berkedudukan di Kota Makassar, tidak mendapat respon oleh pihak Kedatuan Luwu.
Belanda kemudian kembali mengutus Mayor De Wijs pada tanggal 2 september 1905. Kehadirannya yang ingin mengajak Datu Luwu Andi Kambo mengunjungi Poso. Namun Mayor De Wijs berprilaku tidak sopan, Malah tetap berdiri sambil tolak pinggang lalu berkata kurang lebih sebagai berikut “ Sampaikan Kepada Datu Luwu bahwa Belanda ingin Mengajak Paduka Datu Luwu menuju Poso, Karena masyarakat Poso masih bagian wilayah Luwu, dan dan atas permintaan Gubernur Belanda, agar kiranya Kedatuan Luwu menyetujui membebaskan wilayah Poso dari pengaruh Kedatuan Luwu”. Hal inilah yang kemudian membuat Opu Pabbicara kedatuan Luwu Andi Tadda, murka dan melakukan perlawanan. 

Ajakan untuk pembebasan wilayah Poso dari pengaruh Kedatuan Luwu tersebut juga sampai pada Makole Baebunta, namun sikap Tegas Opu Topawennai selaku Makole Baebunta menolak permintaan Belanda. Meski berkali kali utusan Belanda mengajak Makole Baebunta dengan membawa-bawa nama Kedatuan Luwu, akan tetapi Andi Baso Lempulle atau Lebih dikenal dengan nama Opu To Sappaile (Suami Datu Luwu Andi Kambo) memberi isyarat pada Opu Makole untuk tetap melawan.

Akhirnya pihak Belanda menyerang wilayah kemakolean Baebunta dari arah selatan pada tanggal 12 November 1905. Karena Makole Baebunta sudah mendapat kabar dari Palopo jika akan diadakan serangan oleh Belanda, sehingga Makole Baebunta memerintahkan pasukannya mengatur strategi dengan menghadang Belanda di pinggir sungai Rongkong. Serangan mendadak mengakibatkan Belanda kocar kacir dan banyak yang tewas, hanya sebagian kecil yang berhasil lolos dan kembali ke Palopo. 

Belanda kemudian melakukan serangan kedua pada tanggal 20 November 1905. Pada saat itu sungai Rongkong sedang banjir (Sarita Pawiloy, 2002:115) sehingga pasukan Baebunta yang menyamar sebagai penunjuk jalan pasukan Belanda, mengiringnya ke tempat yang lebih sempit yang justru lebih berbahaya. Sebab arus deras sungai dengan batu-batu besar disungai Rongkong membuat pasukan Belanda banyak hanyut dan terbanting-banting. Yang berhasil selamat pun akhirnya keletihan sehingga sangat mudah di tangkap oleh pasukan Makole Baebunta. 

Dua kali serangan Belanda dari arah selatan selalu gagal dan menimbulkan korban yang banyak dari pasukannya, sehingga Belanda mengubah strategi masuk lewat pelabuhan Wotu dengan mengunakan tiga Kapal besar Borneo, tiba di perairan Wotu pada tanggal 16 November 1905. 

Selain mengangap lebih mudah melalui Wotu setelah sebelumnya pada bulan Oktober 1905, menangkap Pua Macowa Antuwu Towollo dan mengasingkan ke Batavia, belanda juga bertujuan untuk menangkap Andi pandangai. Dugaan Belanda lagi-lagi salah, sebab kehadiran mereka di hadang oleh mincara Wotu Andi Pandangai Opu Daeng Tallesang bersama Rakyat Wotu dengan strategi umpan Galang Pacci, sehingga sekoci Belanda yang hendak menuju daratan Wotu tercungkil oleh kayu-kayu umpan dan terbalik. 

Gagal berlabuh di Wotu kemudian bergeser ke Malili. Akhir September 1905, Belanda mengepung Wotu dari dua arah. Kehadiran Belanda yang dipimpin oleh Mayor De Wijs yang hendak mendekati Wotu dekat sungai Kalaena di hadang oleh pasukan Ambe Ma’, namun akhirnya Ambe Ma’ gugur dalam pertempuran tersebut. Sementara itu Andi Pandangai yang berposisi di Jalajja, menghadapi serangan Belanda dari arah Burau. Serangan bertubi-tubi akhirnya Andi pandangai bersama pasukannya bergerilya masuk hutan kemudian bergeser menuju Baebunta. 

Di Baebunta, Andi Pandangai bertemu dengan Opu Makole Baebunta Andi Mannenne dan beberapa tokoh, antara lain Andi Ramping Opu Gawena Tembo, Andi Dulu Opu Daengna Mangerang dan Andi Matturungeng Opu Dg Marumpa’ melakukan pertemuan guna membicarakan strategi menghadapi pasukan Belanda. 

Setelah disepakati, maka pembagian pos-pos gerilya yang meliputi : 
  • Wilayah Marobo, Sabbang Lowa, Ampana, Patikala, TambuE dan Pongo menanggungjawabnya adalah Andi pandangai bersama Andi Ramping.
  • Benteng Baebunta yang meliputi wilayah Baloli, Radda, Kariango, Salulemo, Lara dan Sassa penanggung jawabnya lansung oleh Opu Makole Baebunta Andi Mannenne.
  • Tarue hingga Kalotok penanggungjawabnya oleh Andi Dulu bersama Andi Matturungeng. 
Tanggal 30 September 1905 Belanda yang hendak menuju Sabbang dihadang oleh pasukan Andi Dulu dan andi Matturungeng. Tanggal 2 januari 1906, Belanda kembali menuju Sabbang Lowa mengempur Andi Pandangai namun upaya tersebut gagal. Beberapa kali pasukan Belanda mengalami kegagalan, hingga kemudian pasukan Belanda yang di pimpin oleh Kapten Hoed bergerak menuju Sabbang melalui jalur Daddeko. Sedangkan jalur yang melalui Kanyapu dan Kariango membagi diri ke Sabbang Lowa dengan naik perahu/sekoci dan selanjutnya ke Baebunta dengan jalan kaki. Rencana penyerangan tidak hanya difokuskan ke Sabbang Lowa, tetapi juga ke Baebunta.

Belanda yang telah berhasil masuk menembus Sungai Rongkong, dan juru teriak Pihak Belanda menyebut-nyebut nama Kedatuan Luwu agar kiranya pihak Kemakolean Baebunta bisa berdamai. Namun Opu Makole Baebunta Andi Mannenne mengabaikan, bahkan mendekati dan mengarahkan senjatanya pada juru teriak Belanda. Namun seorang parjurit penembak jitu Belanda menghadang dan menembak Opu Makole Baebunta Andi Mannenne hingga menghembuskan nafas terakhir. 

Perjuangan Opu Makole Baebunta Andi Mannenne, dilanjutkan oleh istrinya yang bernama Andi Puttiri.
Kekaguman Rakyat Baebunta terhadap Opu Makole Andi Mannenne terhadap kegigihan beliau menghadapi pasukan Belanda terurai dalam syair kenangan sebagai berikut:
“Opu Makole, iya Toda. Engkasi duanna, dessi padanna. Mate simblong Teppe’na” 
Artinya “ Opu Makole sungguh Hebat, kalau ada duanya tidaklah ada samanya. Gugurlah ia bersama keyakinannya”
Sumber pustaka:
- Baebunta dalam sejarah Luwu, Andi Mattingaragau Andim
- Andi Pandangai, Andi Mattingaragau.
- Ringkasan sejarah Luwu, Sarita Pawiloy
- Ringkasan sejarah Luwu, Idwar Anwar
post, AHP

Komentar