SAWERIGADING OPU NA WARA (TANAH LUWU)

Sawerigading adalah nama seorang putera raja Luwu dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat Sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu kuning. Jadi nama Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu kuning. 

Ilustrasi Sawerigading Opu Na Wara/Luwu

Nama ini dikenal melalui cerita yang termuat dalam Sureq/Kitab I La Galigo (Periksa Edisi H. Kern 1939), dimulai ketika para dewa di langit bermufakat untuk mengisi dunia ini dengan mengirim Batara Guru anak Patotoe di langit dan Nyilitomo anak guru ri Selleng di peretiwi (dunia bawah) untuk menjadi penguasa di bumi. Dari perkawinan keduanya lahirlah putra mereka yang bernama Batara Lattu’, yang kelak menggantikan ayahnya penguasa di Kerajaan Luwu.

Dari perkawinan Batara Guru dengan beberapa pengiringnya dari langit serta pengiring We Nyilitimo dari peretiwi lahirlah beberapa putra mereka yang kelak menjadi penguasa di wilayah Kerajaan Luwu sekaligus pembantu Batara Lattu’. Setelah Batara Lattu’ cukup dewasa, ia dikawinkan dengan We Datu Sengeng, anak La Urumpassi bersama We Padauleng di Tompottikka. Sesudah itu Batara Guru bersama permaisurinya We Nyilitomo kembali ke langit. Dari perkawinan keduanya, Batara Lattu dan We Datu Sengeng lahirlah Sawerigading dan We Tenriabeng anak kembar emas yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Opera Sawerigading oleh Robert Wilson, sutradara asal Amerika Serikat tahun 2004

Mengenai masa hidup Sawerigading terdapat berbagai versi di kalangan ahli sejarah. Menurut versi Towani-Tolotang di Sidenreng, Sawerigading lahir pada tahun 564 M. Jika versi ini dihadapkan dengan beberapa versi lain, maka data ini tidak terlalu jauh perbedaanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan tiga versi mengenai masa hidup Sawerigading, yaitu:
  1. Versi Sulawesi Tenggara, abad V;
  2. Versi Gorontalo, 900 dikurangi 50 = 850;
  3. Versi Kelantan - Terengganu, tahun 710.
Sepertinya, versi Sulawesi Tenggara lebih dekat dengan versi yang dikemukakan oleh masyarakat Towani-Tolotang. Mereka menetapkan versi ini sebab menurut kepercayaan mereka Sawerigading sezaman dengan Nabi Muhammad, bahkan pernah bertemu.

Perjalanan Sawerigading ke negeri Tiongkok

Berdasarkan pesan Batara Guru, kedua anak kembar itu harus dibesarkan terpisah agar kelak bila mereka menjadi dewasa tidak akan saling jatuh cinta. Namun suratan menentukan yang lain, sebab di luar istana Sawerigading mendapat keterangan bahwa ia mempunyai seorang saudara kembar wanita yang sangat cantik, We Tenriabeng namanya. 

Sejak itu hatinya resah hinggah pada suatu waktu ia berhasil melihatnya dan langsung jatuh cinta serta ingin mengawininya. Maksud itu mendapat tantangan kedua orang tuanya bersama rakyat banyak, karena kawin sedarah merupakan pantangan yang jika dilanggar akan terjadi bencana terhadap negeri, rakyat dan tumbuh tumbuhan. Seluruh negeri kebingungan. Hingga melalui suatu dialog yang panjang, We Tenriabeng berhasil membujuk Sawerigading dan menyarankan untuk berangkat ke negeri Tiongkok menemui jodohnya di sana, We Cudai. Wajah dan perawakannya sama benar dengan We Tenriabeng. 

Pada waktu Sawerigading berangkat ke Tiongkok, We Tenriabeng sendiri naik ke langit dan kawin dengan tunangannya di sana bernama Remmang ri Langi. 

Dengan mengatasi hambatan demi hambatan, akhirnya berhasil juga Sawerigading mengawini We Cudai setelah meringkus tunangannya, Settiaponga terlebih dulu di dalam suatu pertempuran di tengah laut ketika dalam perjalanan menuju ke Tiongkok. 

Mereka hidup rukun damai dan memperoleh tiga orang anak yaitu: I La Galigo, I Tenridio dan Tenribalobo. Dan dari seorang selirnya We Cimpau, Sawerigading memperoleh seorang anak bernama We Tenriwaru.

Dalam pada itu I La Galigo pun menjadi dewasa, merantau, menyabung, kawin, berperang dan memperoleh anak. Pada suatu ketika We Cudai ingin berkunjung ke negeri suaminya, menjumpai mertua yang belum pernah dilihatnya. Sawerigading bimbang mengingat akan sumpahnya dahulu, ketika hendak bertolak ke Tiongkok, bahwa seumur hidupnya tidak akan lagi menginjakkan kaki lagi di tanah Luwu, tetapi karena rasa sayang akan isteri, anak dan cucu, akhirnya ia pun ikut serta. Setiba di Luwu, Patotoe menetapkan akan menghimpun segenap keluarganya di Luwu. Dalam pertemuan keluarga besar itulah ditetapkan bahwa keturunan dewa- dewa yang ada di bumi harus segera kembali kelangit atau peretiwi dengan masing-masing seorang wakil.

Tidak lama setelah para kaum keluarga pulang ke negerinya masing-masing Sawerigading bersama anak, isteri dan cucunya pulang ke Tiongkok. Di tengah jalan tiba-tiba perahunya meluncur turun ke Peretiwi. Di sana ternyata disambut gembira penguasa untuk menggantikan neneknya sebagai raja Peretiwi. Di Peretiwi ia masih memperoleh seorang anak yang kemudian kawin dengan anak We Tenriabeng di langit, yang selanjutnya dikirim ke Luwu untuk menjadi raja di sana. Akhirnya tibalah saatnya pintu langit ditutup sehingga penguasa yang ada di peretiwi tidak lagi leluasa pulang pergi, namun sewaktu-waktu dikemudian hari akan diturunkan seseorang utusan dari Peritiwi untuk memperbarui atau memurnikan kembali darah keturunan mereka untuk menjadi penguasa di Bumi Luwu.

_ed AHP

Komentar